Aji kaget. Ia masih tak percaya. Apakah ini hanya halusinasinya? Sukar dipercaya. Pelan-pelan Aji menghitung pasukannya. Anggap saja seperti itu. Anggap Aji dan teman-teman barunya itu sebagai sebuah pasukan. Pasukan kecil melawan pasukan raksasa. Kecil-raksasa itu bukan mengenai postur tubuh, melainkan kuantitas. Di pihak Aji, ada kurang lebih sepuluh orang. Di pihak orang-orang yang mengejar Aji, lebih dari seratus orang dan hampir mendekati ribuan, yang semuanya sepertinya sudah terlatih berperang. Pasukan raksasa itu pun bertumbangan. Bau darah di mana-mana. Banyak manusia yang berteriak kesakitan dan memohon pengampunan sebelum akhirnya pergi ke alam lain (yang mana sejak kecil Aji sudah meyakini adanya alam yang akan dituju jika seseorang meninggal dunia).
Slamet merangkul Aji, tersenyum. "Kenapa?"
"Apa ini nyata? Seperti mimpi saja." Aji mengucek-ucek kedua matanya. "Kita hanya bersepuluh. Mereka ribuan, dan keok. Ini tak masuk akal. Mungkinkah itu terjadi?"
Kharis tertawa terbahak-bahak.
Utomo ikut tertawa pula.
Elkann tertawa kecil.
Dermawan mendekati Slamet dan membisikkan Slamet sesuatu. Slamet berujar dengan lantang seolah ia adalah komandan perang, "Teman-teman, kita sebaiknya segera bergegas. Aku yakin mereka akan memburu kita setelah peperangan dahsyat ini."
Aji mengerutkan dahi dan spontan berkata, "Sudah tumbang begini, dan kita masih dikejar-kejar? Tak salahkah aku mendengar? Belum kapokkah mereka?"
Slamet hanya nyengir. "Kamu belum tahu apa-apa. Masih banyak hal yang belum kamu ketahui, Aji. Kamu belum tahu siapa sebenarnya yang tengah kita hadapi. Apalagi di dunia ini jangan terlalu cepat percaya dengan siapapun."
"Santai saja." ucap Elkann menepuk pundak Aji. "Mungkin saja ini sudah menjadi takdir kita. Yang harus hidup berpindah-pindah. Selalu waspada. Juga, ingat yang di atas selalu."
"Ayo, bergegas segera," Slamet meletakkan pedang itu ke dalam sarungnya dan langsung naik ke atas kuda biru.
Sementara itu seseorang di antara mereka yang berambut pirang dan bermata biru langsung loncat ke atas kuda merah. Orang itu mengaku dari sebuah negeri bernama Perancis yang dulunya pernah hidup suku Franks. Dia bernama Jean.
"Biarkan Aji menaiki kuda putih," Slamet memberikan amanat. Semuanya menurut. "Aji, kamu naik ke atas punggung kuda putih itu."
Aji menunjuk dirinya sendiri seakan tidak percaya. Di dunianya, kuda putih itu simbol kebangsawanan. Hanya yang berdarah ningrat yang boleh menaiki kuda putih. Aji pun belum begitu menguasai berkuda. Untuk memiliki seekor kuda pun, Aji tak mampu. Lagi-lagi hanya kaum bangsawan--atau minimal sekelas saudagar--yang bisa memiliki kuda.
"Naik, Aji. Kuda itu punya kamu. Sudah ditakdirkan untuk dinaiki oleh seseorang bernama Aji." ucap Slamet tanpa bermaksud meledek. "Apa yang sudah ditakdirkan menjadikan milik kita, percayalah, selamanya akan menjadi milik kita. Pasti akan selalu mengikuti kita."
Kharis menuntun Aji ke arah kuda putih. Benar saja, kuda putih itu seperti ditakdirkan untuk Aji. Sekonyong-konyong Aji teringat akan mimpinya saat ia berada di apartemen Shania. Aji bermimpi ia tengah menaiki kuda putih dan mengenakan pakaian perang yang lengkap. Lengkap dengan baju zirah, ketopong, dan perisai. Malam ini mimpinya menjadi kenyataan. Walau tidak mengenakan pakaian perang, dengan menaiki kuda putih dan menenteng pedang Excalibur, Aji sudah cukup beranggapan bahwa salah satu mimpinya menjadi kenyataan.
Jean tersenyum. "Déjà vu, right?"
Terima kasih yang sudah membaca PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN. Jangan lupa like, vote, dan share-nya. Jangan lupa juga ide-idenya untuk pengembangan ceritanya. Bagaimanapun Author juga manusia biasa, yang tak luput dari kesalahan. Hehe.
Oh iya, sekadar mengingatkan, cari air beroksigen, bisa ke aku, dan pilih saja Oxy Water. Hubungi aku di 087791756320 atau immanuel.lubis@gmail.com.